Jadi semua itu tentang pembuktian, pembuktian, dan pembuktian
Mimika (ANTARA) – Matanya terpejam, kedua tangannya berpaut mengepal, bibirnya tak henti bergerak mengucapkan syukur kepada Sang Pemilik Hidup.
“Terima kasih Tuhan Yesus. Terima kasih Engkau telah kuatkan saya. Terima kasih Engkau telah menyertai saya”.
Itulah ritual yang selalu dilakukan Odekta Elvina Naibaho sesaat setelah dirinya berhasil mencapai garis finis di setiap nomor perlombaan atletik yang diikuti di Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua.
Pelari yang mewakili DKI Jakarta itu sukses mengemas tiga medali emas di tiga nomor perlombaan, yaitu 5.000 meter putri, 10.000 meter putri, dan marathon putri.
Tak hanya mendulang emas, perempuan 29 tahun itu juga berhasil mempertajam catatan waktu pribadinya di setiap nomor.
Odekta tak pernah menyangka dirinya bisa mencetak prestasi gemilang di Bumi Cenderawasih, mengingat pada penyelenggaraan PON XIX 2016 di Jawa Barat, perempuan bernomor dada 61 itu hanya berhasil merebut perunggu di nomor marathon.
Odekta juga berhasil membuat atlet senior Triyaningsih untuk pertama kalinya gagal membawa pulang medali emas di arena PON, sejak keikutsertaan pertama di tahun 2004.
Dia mengatakan capaiannya tersebut tak lepas dari campur tangan Sang Pencipta, dukungan dari keluarga dan tim pelatih, serta doa seluruh masyarakat yang mendukungnya hingga sejauh ini.
“Medali ini dipersembahkan untuk Tuhan, untuk keluarga, untuk tim, untuk seluruh masyarakat DKI Jakarta, dan untuk semua yang mendoakan,” kata perempuan pemilik senyum lebar itu.
Berawal dari diet
Odekta tidak pernah memiliki cita-cita untuk menjadi seorang pelari, apalagi atlet profesional. Pertemuannya dengan dunia lari terjadi tak sengaja di medio 2012. Kala itu, anak ketiga dari enam bersaudara tersebut merasa memiliki berat badan yang kurang ideal.
“Saya baru mengenal lari karena berat badan saya itu 56 kg. Saya ingin menurunkan berat badan. Itu waktu saya baru pertama kali sampai Jakarta mau kuliah,” kata perempuan asal Sumatera Utara itu.
Tak ingin memiliki bentuk tubuh yang “membengkak” saat masuk kuliah, Odekta lalu memutuskan untuk mulai berolahraga dengan jogging dan berlari di kawasan Senayan.
Saat tengah melakoni aktivitas lari itu, Odekta merasa kerap disalip para pelari perempuan, termasuk oleh ibu-ibu. Hal itu membuatnya jengkel. Jiwa kompetitif Odekta pun muncul.
Sejak saat itu, perempuan berkulit sawo matang tersebut menjadikan lari sebagai rutinitas. Dia bertekad untuk bisa mengungguli para pelari “tua”.
Kerap beraktivitas lari di kawasan Senayan membuat Odekta memiliki teman-teman baru satu hobi. Dari situ, dirinya kemudian bergabung dengan klub Indonesia Muda Atletik, yang nantinya akan mengantar Odekta menuju jenjang profesional.
Di klub tersebut, Odekta mulai mempelajari teknik serta mempertajam waktu berlarinya. Dirinya juga aktif mengikuti berbagai ajang lari jarak jauh.
“Seiring berjalannya waktu, saya diikutkan untuk lari 10 km jalan raya. Saya ikut-ikut saja karena asyik, sekalian bertemu teman-teman,” kata perempuan yang kini memiliki bobot 44 kg itu.
Hari-hari Odekta selanjutnya diisi dengan kegiatan kuliah dan aktivitas lari bersama anggota klub. Dia juga mulai memenangkan berbagai perlombaan lari.
Prestasi yang perlahan terukir membuat dirinya memberanikan diri mengikuti seleksi atlet DKI Jakarta.
“Di 2016 baru saya bisa kenal dengan yang namanya lari sesungguhnya, kompetisi sesungguhnya. Di situ saya ikut kompetisi daerah, kejuaraan daerah, dan lolos limit PON 2016,” kata Odekta.
Pembuktian ke orang tua
Odekta Elvina Naibaho lahir di Desa Soban, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara pada 5 November 1991. Masa kecil hingga remaja dia habiskan untuk sekolah dan membantu orang tua di ladang.
Selepas lulus SMA, Odekta ingin mengubah nasib. Dia merasa tidak akan memiliki masa depan cerah apabila terus tinggal di kampung halaman.
Bermodal uang tabungan Rp400 ribu dan uang pemberian keluarga Rp1 juta, Odekta membulatkan tekad untuk merantau ke ibu kota pada 2011.
Odekta sempat bekerja di perusahaan simpan pinjam di daerah Bogor. Setelah satu tahun bekerja, dia memutuskan berhenti dan menuju ke Jakarta untuk berkuliah.
Bermodal uang Rp12 juta dari hasil kerja, Odekta lalu mendaftar kuliah di salah satu sekolah tinggi swasta di Jakarta, mengambil jurusan matematika.
“Di Jakarta kuliah di Kusumanegara, jurusan matematika. Mau jadi guru tadinya,” ucap dia.
Namun kadang keinginan memang tidak sesuai dengan kenyataan. Garis tangan Odekta membawanya justru menjadi atlet lari profesional, alih-alih tampil formal mengajar di depan ruang kelas.
Usai lulus kuliah pada 2015, Odekta memfokuskan diri untuk persiapan PON XIX 2016 Jawa Barat mewakili DKI Jakarta. Di PON perdananya, dia turun di tiga nomor, yaitu 5.000 meter, 10.000 meter, dan marathon.
Di ajang pesta olahraga nasional empat tahunan itu, Odekta berhasil menyumbangkan medali perunggu di nomor marathon putri, sebuah prestasi yang membanggakan untuk seorang debutan.
Usai berprestasi di PON, Odekta memutuskan untuk fokus meniti karir di dunia atletik. Dia melihat cabang olahraga atletik memiliki masa depan cerah untuk hidupnya.
“Saya berpikir ngapain saya kerja, saya fokus di sini saja. Ternyata ini juga dapat uang, sama saja,” kata dia.
Odekta pun masuk pelatihan nasional (pelatnas) atletik dan berlaga di berbagai ajang internasional, termasuk Asian Games 2018 dan Sea Games 2019.
Bahkan di Sea Games yang digelar Filipina itu, Odekta sukses merebut medali perunggu di nomor 10.000 meter putri.
Namun siapa sangka, karir gemilang yang ditorehkan Odekta di cabang olahraga atletik ternyata sempat tidak mendapat pengakuan dari orang tua dan keluarganya.
Kedua orang tuanya kala itu masih menganggap bahwa profesi atlet tidak menjamin masa depan yang cerah.
“Orang tua saya dan keluarga saya tidak mengijinkan saya untuk di olahraga, karena mindset mereka orang sukses itu harus kerja di kantor,” kata Odekta
“Tetapi saya bilang sama diri saya, Odekta ayo kita tunjukkan dan kenalkan kepada mereka bahwa suksesnya seseorang itu tidak hanya di kantor, tetapi di berbagai bidang, contohnya saya,” sambung dia.
Berbagai cara dilakukan Odekta untuk meyakinkan orang tua dan keluarganya terhadap pilihan hidup yang dia ambil.
Hingga pada ajang Asian Games 2018, Odekta berinisiatif memboyong seluruh keluarganya ke Jakarta untuk menyaksikan dirinya bertanding.
Perjuangan Odekta hingga titik darah penghabisan saat berlomba melawan atlet-atlet dunia ternyata berhasil membuka mata dan pikiran keluarga besarnya.
“Di situ baru mereka mengakui bahwa lari itu begini, dengan orang-orang luar juga. Baru mereka bisa menerima saya sebagai seorang atlet. Tujuh tahun lamanya saya mengenalkan,” ucap perempuan yang mengidolai Triyaningsih itu.
Kini, Odekta selalu menghubungi orang tuanya sesaat sebelum bertanding. Doa-doa dan wejangan dari mereka dia aminkan sebagai penambah energi sekaligus pemacu motivasi untuk memenangkan pertandingan.
“Mereka mendoakan saya. Di situ saya merasakan bahwa saya disayangi, saya merasa dimiliki,” ucapnya haru.
Berlari untuk Tuhan
Awalnya, Odekta menggeluti olahraga lari jarak jauh karena tergiur dengan hadiah yang diperoleh di setiap perlombaan.
Dia terinspirasi dari senior sekaligus idolanya Triyaningsih yang bisa mendapatkan uang puluhan, bahkan ratusan juta hanya dari perlombaan ajang lari jarak jauh.
“Jadi saya itu awalnya ngefans sama Kak Triyaningsih, kok gampang banget nyari duitnya, sekali lari dapat Rp25 juta sekali lari dapat Rp100 juta. Saya bisa tidak ya?” ujar dia.
Tekad untuk sukses di perantauan juga menjadi motivasi tersendiri bagi dia untuk bisa memenangi berbagai perlombaan yang diikuti.
Pada masa-masa itu, Odekta berlari hanya untuk pembuktian diri kepada orang tua, keluarga, pelatih, maupun orang-orang yang meremehkannya.
“Jadi semua itu tentang pembuktian, pembuktian, dan pembuktian,” kata dia.
Hingga titik balik dalam hidupnya pun tiba pada 2019. Kala itu, Odekta mengalami “heat stroke” saat mengikuti final marathon di ajang Sea Games 2019.
Serangan “heat stroke” — kondisi di mana tubuh mengalami peningkatan suhu secara drastis — yang menimpa Odekta di 200 meter jelang finis, membuat dirinya tidak bisa melanjutkan pertandingan.
Saat itu, Odekta merasa hidupnya selesai. Namun, kuasa Tuhan, kata dia, telah menyelamatkannya.
Pascaperistiwa itu, Odekta berjanji kepada diri sendiri untuk mengubah pola pikirnya. Dia merasa
pembuktian-pembuktian yang selama ini ingin dia tunjukkan telah terwujud sepenuhnya.
“Doa saya sudah terjawab, bahwa keluarga saya sudah menerima saya sebagai atlet, dan tugas saya sebagai kakak juga sudah selesai untuk menyekolahkan adik-adik saya, lalu tugas saya sebagai pembuktian juga sudah selesai. Jadi kini saya berlari untuk Tuhan,” kata dia.
Penerus tongkat estafet
Usia Odekta memang tak lagi muda, 29 tahun. Tapi hal itu tak akan membatasi karirnya ke depan. Dia kini digadang sebagai penerus tongkat estafet pelari jarak jauh putri, menggantikan Triyaningsih yang sudah berusia 34 tahun.
Triyaningsih pun menaruh harapan besar kepada juniornya di tim DKI Jakarta itu.
“Aku senang banget ada atlet seperti Odekta ya yang bisa memang konstan, terus dia bisa upgrade performancenya step by step kemudian bisa leading, itu adalah suatu hal yang aku harapkan untuk peremajaan di Indonesia ini,” ujar pemegang rekor nasional marathon putri itu.
Triyaningsih berharap para atlet muda dapat mencontoh konsistensi Odekta yang tak pernah puas terhadap prestasi. Dengan begitu, diharapkan tradisi pelari jarak jauh di Tanah Air dapat terus berlanjut.
Sementara itu, pelatih lari jarak jauh tim DKI Jakarta Wita Witarsa mengingatkan Odekta untuk tidak cepat puas meski telah menorehkan hasil gemilang di PON XX Papua.
Dia mengatakan apabila anak asuhnya itu masih ingin menorehkan prestasi lebih baik, maka dia harus berlatih lebih keras dari yang dilakukan saat ini.
Wita meminta Odekta untuk tetap mengikuti program yang telah diberikan oleh tim pelatih dengan sebaik-baiknya. Saat ini, Odekta harus meningkatkan semua faktor, mulai dari daya tahan tubuh, kekuatan, dan kecepatan.
Adapun terkait motivasi, Wita menilai Odekta telah memiliki motivasi yang tinggi.
“Kalau motivasinya sudah tinggi, walaupun ya harus tetap dibina mentalnya, karena akan semakin berat latihan, karena targetnya lebih tinggi ya latihannya akan lebih dari ini,” ucap pelatih 68 tahun itu.
Odekta telah membuktikan bahwa kuasa Tuhan nyata adanya. Berawal dari bukan siapa-siapa, kini perempuan berparas manis itu menjelma menjadi “ratu” lari jarak jauh baru andalan Merah Putih. Odekta bisa, torang pun bisa!
Baca juga: Odekta Elvina dulang emas ketiga PON Papua lewat nomor marathon putri
Baca juga: Kisah Odekta kurang tidur dan sarapan teri sebelum raih emas PON Papua
Baca juga: Odekta Elvina: Tuhan sadarkan saya sampai finis
Baca juga: Pelatih ingatkan Odekta tak cepat puas meski raih tiga emas PON Papua
Oleh Fathur Rochman
Editor: Dadan Ramdani
COPYRIGHT © ANTARA 2021