Sebagai penikmat Drama Korea (drakorkita) sejak lama, saya menyadari bahwa fenomena ini telah melampaui batas sekadar tontonan. Dulu, drakor dianggap sebagai “hobi sampingan” bagi penggemar budaya pop Asia. Kini, ia menjelma menjadi kekuatan global yang memengaruhi gaya hidup, pariwisata, hingga cara kita memahami dinamika sosial. Melalui artikel ini, saya ingin mengajak Anda melihat drakor tidak hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai cermin yang merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan, budaya, dan perubahan zaman.
Drama Korea pertama, Death of the Invalid (1964), menjadi titik awal industri hiburan Korea Selatan yang kini mendominasi layar kaca global. Awalnya, cerita-cerita drakor bertema keluarga dan konflik klasik. Namun, sejak akhir 1990-an, gelombang Hallyu (Korean Wave) membawa drakor seperti Autumn in My Heart (2000) dan Winter Sonata (2002) ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Evolusi Genre yang Dinamis
Dari melodrama berlebihan hingga cerita yang lebih realistis, drakor terus berevolusi. Serial seperti Squid Game (2021) dan Crash Landing on You (2019) membuktikan bahwa kreativitas tanpa batas bisa menyentuh audiens lintas generasi. Menurut data Korean Creative Content Agency (KOCCA), ekspor konten Korea ke Indonesia naik 72% pada 2022, dengan drakor sebagai penyumbang terbesar.
Saya sering bertanya: mengapa drakor begitu mudah diterima di Indonesia? Jawabannya mungkin terletak pada universalitas cerita. Meskipun berlatar budaya Korea, konflik tentang cinta, ambisi, atau perjuangan melawan ketidakadilan mudah dikenali oleh penonton Indonesia.
Mematahkan Stereotip
Drakor seperti Itaewon Class (2020) dan Extraordinary Attorney Woo (2022) menampilkan karakter dengan disabilitas, LGBTQ+, dan minoritas lainnya. Ini bukan sekadar representasi, tetapi upaya mendidik penonton tentang inklusivitas—nilai yang semakin relevan di Indonesia.
Selama menonton Hospital Playlist (2020), saya belajar tentang etika kedokteran dan pentingnya kerja tim di rumah sakit. Sementara Vincenzo (2021) menyelipkan kritik terhadap korupsi—isu yang juga akrab di telinga kita. Ini membuktikan bahwa drakor bisa menjadi alat edukasi informal yang efektif.
Inspirasi Gaya Hidup
Tidak bisa dipungkiri: drakor memengaruhi selera fashion, kuliner, bahkan destinasi wisata. Restoran tteokbokki dan bibimbap bermunculan di Jakarta, sementara lokasi syuting seperti Nami Island menjadi tujuan impian traveler Indonesia.
Jika Anda baru memulai petualangan drakor, berikut rekomendasi dari pengalaman pribadi saya:
Mulailah dengan genre ringan seperti komedi romantis (Business Proposal, 2022) atau slice of life (Hometown Cha-Cha-Cha, 2021).
Manfaatkan platform legal seperti Netflix, Viu, atau WeTV untuk mendukung industri kreatif.
Jangan takut eksplor genre niche seperti thriller psikologis (Flower of Evil, 2020) atau fiksi sejarah (Mr. Sunshine, 2018).
“Mengapa drakor selalu memiliki ending bahagia?”
Tidak selalu! Serial seperti The Red Sleeve (2021) justru mengakhiri cerita dengan tragedi yang meninggalkan kesan mendalam.
“Apa rekomendasi drakor untuk pemula?”
Start-Up (2020) cocok untuk yang ingin memahami semangat kewirausahaan ala Korea.
“Bagaimana drakor mempromosikan budaya Korea?”
Melalui integrasi tradisi seperti hanbok (Mr. Queen, 2020) atau ritual minum teh dalam cerita.
“Apakah drakor terlalu melodramatis?”
Generasi terbaru seperti My Liberation Notes (2022) lebih fokus pada realisme emosional.
“Bisakah belajar bahasa Korea lewat drakor?”
Tentu! Ungkapan seperti saranghae (aku cinta kamu) atau gwenchana (tidak apa-apa) mudah dipelajari.
“Bagaimana cara menghindari ‘drakor addiction’?”
Tetapkan jadwal menonton dan imbangi dengan aktivitas produktif.